Malam takbiran malah ngamar di rumah sakit? Subhanallah. Dan pengalaman ini terjadi waktu saya duduk di kelas 5 Sekolah Dasar itu artinya saya baru berusia 12 tahun.
Pagi itu selepas sahur entah kenapa perut sebelah kanan saya terasa sakit sekali, qadarullah jelang Hari Raya Idul Fitri sekolah sudah mulai libur jadi saya tak perlu berangkat ke sekolah atau izin sakit ke wali kelas.
Jadi lah seharian saya tidur di kamar tanpa ada yang mengetahui bahwa saya sebenarnya sedang kesakitan. Karena saya sendiri tak mengira bahwa sakit tersebut adalah sakit yang serius, saya kira hanya sakit perut biasa.
Hingga sampai sore hari, Mami dan Bapak pulang kerja kemudian menyadari ketidakhadiran saya di meja makan jelang buka puasa.
“Ning, nggak buka?” Mami bergegas ke kamar memeriksa saya yang dikira tertidur.
Namun apa lacur, Mami kaget bukan kepalang ketika tahu saya meringis kesakitan “Kamu kenapa?” tanya Mami kaget.
Operasi Usus Buntu
Tak menunggu lama, bersama Bapak dan Mami saya bergegas ke rumah bude yang juga seorang bidan ternama pada masanya. Biasanya kalau sakit kami ke rumah beliau dulu untuk diperiksa.
Namun karena tak membuahkan hasil, Bude menyarankan untuk segera diperiksa ke dokter penyakit dalam.
Baiklah mobil segera melaju kencang, dan sesampainya di sana dokter penyakit dalam mengatakan “Anak Ibu appendix.” masih teringat jelas dalam ingatan saya ketika pak dokter mendiagnosis penyakit saya malam itu.
Dan harus segera dilakukan tindakan operasi malam itu juga “Tak bisa ditunda setelah Lebaran kah, Dok?” tanya Mami kepada dokter, mengingat malam itu adalah H-2 sebelum lebaran.
Tak ada yang menyangka bahwa saya harus dioperasi usus buntu pada malam itu, kelar konsultasi kami bertiga kembali ke rumah melanjutkan buka puasa yang sempat tertunda tadi.
Sambil makan Mami mengabari beberapa kerabat melalui telepon, waktu itu pesawat telepon belum secanggih sekarang. Karena kami tinggal di komplek perumahan maka untuk bisa dapat menelepon ke luar harus melalui sentral telepon lebih dulu.
Jadilah tersebar kabar seantero kota bahwa anaknya Pak Boedy ini akan dioperasi malam itu juga. Haha harap maklum saya dulu masih tinggal di pulau kecil Tarakan, jadi kalau ada kabar apapun pasti cepat menyebar.
“Perutku sudah tidak sakit!” pekik saya di tengah makan malam. Namun tak ada yang mengindahkan hahaha mungkin saking takutnya saya mendengar akan dioperasi sampai-sampai bersandiwara kalau sakitnya sudah hilang.
Sakit perut tak tertahankan
Benar saja dalam perjalanan menuju rumah sakit dan sampai di depan pintu UGD sakitnya benar-benar tak tertahankan. Disentuh sedikit rasanya huft!
Saya langsung menuju ruang persiapan operasi, untuk kali pertama saya baru tau kalau mau dioperasi baju kita harus dilepas semua dan diganti baju operasi hahaha duh malu rasanya waktu itu.
Kemudian disuntik, dan tak berapa lama saya pun tertidur. Operasi usus buntu berjalan selala kurang lebih 4 jam, di ruang operasi saya sama sekali tak merasakan apa-apa. Setelah saya siuman, saya sudah berada dalam ruangan kamar VIP, dan yang saya lihat kali pertama adalah almarhum Acil Jumbri. Beliau selalu setia menemani saya, meski bukan saudara tapi sudah saya anggap seperti Acil (red: tante) saya sendiri.
Malam takbiran di rumah sakit
Allahu Akbar Allahu Akbar, Allahu Akbar…
Laillahaillahu Allahu Akbar…
Takbir pun berkumandang, sehari sudah saya lewati di rumah sakit karena sakit usus buntu. Alhamdulillah cepat teratasi, karena usia saya yang masih kecil dikhawatirkan kalau tidak segera dioperasi bisa pecah dan malah memperparah keadaan saya… Naudzubillahlindzalik.
Berlebaran di rumah sakit tentu rasanya tidak enak, apalagi saya tak bisa merasakan masakan khas Lebaran yang biasa disajikan saat hari raya. Opor ayam, sop merah, rendang daging dan lain-lain huhuhu mendadak ngiler deh.
Tapi alhamdulillah esok harinya saya sudah diperbolehkan pulang ke rumah ๐
Di rumah pun saya belum bisa beraktivitas seperti biasa karena luka bekas operasi lumayan menyiksa, terutama ketika akan bersin. Huhuhu terlalu sakit untuk dibayangkan.
Dan tahukah kalian, Hari Raya ketika saya dioperasi tersebut merupakan hari raya terakhir kalinya di Tarakan. Karena tahun berikutnya, keluarga saya harus pindah ke Jawa… masya Allah semua terjadi atas kehendakNya.
Meski sedih tak bisa berlebaran lagi di Tarakan, tapi Alhamdulillah penyakit saya ditemukan dan mendapat solusi pada malam itu juga berkat kuasaNya.
Jadi, meski tahun itu adalah lebaran terakhir di Tarakan tapi pengalaman berlebaran di rumah sakit merupakan momen lebaran paling berkesan seumur hidup saya.
Semoga kita selalu dalam lindungan Allah Swt sehat walafiat… aamiin.
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam BPN 30 Days Ramadan Blog Challenge 2021, dengan tema hari #28 “Momen Lebaran Yang Paling Berkesan.”