Budaya Malaysia Bersama Indonesiaku – Keris, batik, angklung dan tari saman…Yup setidaknya inilah 3 dari 12 warisan budaya milik Indonesia yang telah berhasil didaftarkan di UNESCO. Namun bukan berarti negara tetangga serumpun kita Malaysia berhenti untuk kembali mengklaim budaya milik Indonesia sebagai warisan budaya miliknya.
Beberapa minggu kemarin pun santer dimedia menyebutkan bahwa Tari Tor-Tor asal Batak dan alat musik Gordang Sambilan diakui Malaysia sebagai budaya miliknya “Lagi dan lagi???” [phew].
Dan tentunya hal tsb langsung dijelaskan oleh Konsul Jenderal Malaysia di Medan – Norlin binti Othman, dimana beliau menjelaskan bahwa duduk permasalahan yang muncul hanyalah kesalahpahaman pengartian makna dari kata “diperakui atau memperakui” yang artinya menurut bahasa Malaysia dimaksudkan diangkat atau disahkan atau disetujui, bukan diklaim seperti yang diartikan dalam bahasa Indonesia.
Apapun penjelasan yang dilakukan oleh Konjen Malaysia tsb, pada kenyataannya hal tsb telah memicu beragam reaksi di masyarakat Indonesia. “Indonesia akan Daftarkan Tari Tor Tor ke UNESCO” di tanggal 20 Juni pages VOA pun berbagi pendapat mengenai bagaimana facebooker Indonesia menyikapi masalah pelik yang tak pernah kunjung berhenti ini.
![]() |
komentar pembaca VOA |
![]() |
komentar pembaca VOA |
![]() |
komentar pembaca VOA |
![]() |
comment of mine |
“See…??” Nggak perlu menunggu lama, beragam komentar pun bermunculan hehe dan hendaknya balik lagi ke pribadi masing-masing sebagai rakyat Indonesia “Bagaimana kita secara pribadi menyikapi masalah ini?”
Menurut pendapat saya hendaknya kita tidak perlu terlalu ekstrim mempermasalahkan hal tsb yang mana dapat menyebabkan perpecahan antara kedua negara tetangga yang notabene memang kita serumpun, teman!!!
Personally saya pun terkesima ketika saya melihat sendiri bagaimana budaya yang dimiliki masyarakat peisisir Sumatera pada umumnya telah membaur menjadi satu dengan kebudayaan Malaysia seiring dengan berjalannya waktu. Dimana kebudayaan tsb terlihat begitu kental menyatu ketika saya berada di Seremban, Negeri Sembilan Malaysia.
![]() |
gerbang tol di Seremban, Negeri Sembilan Malaysia berdesain rumah gadang |
Jadi tidak menutup kemungkinan terjadi percampuran dua kebudayaan antara melayu dan kebudayaan Indonesia itu sendiri. Namun hendaknya hal tersebut perlu pula disikapi secara dewasa oleh pemerintah Malaysia dengan tidak serta merta “mengklaim” kebudayaan yang dibawa oleh masyarakat Indonesia ke daratan Malaysia.
Kita sebagai rakyat Indonesia sudah sepantasnya introspeksi diri mengapa hal tsb selalu dengan mudah terjadi dan bahkan berulang kali??? Berapa banyak sih dari kita yang mau belajar kebudayaan Indonesia itu sendiri, simpel saja
“Berapa banyak dari kita yang notabene orang Jawa dapat mengerti bahasa Jawa secara aktif dan pasif??”
Bahkan saya sendiri pun yang memiliki campuran Jawa tidak begitu paham atau bahkan tidak terlalu mengerti bahasa Jawa [apalagi Kromo Inggilnya hihihi].
Lanjut, berapa banyak anak-anak muda sekarang yang mau mempelajari kebudayaan asli Indonesia. Mulai dari beragam tarian-tarian daerah yang kita miliki, berapa banyak sih yang kita tau? Saya yang sewaktu SD pernah mengikuti les menari Jawa saja sudah agak lupa gerakan-gerakan dari tarian-tarian Jawa tsb. Apalagi yang sama sekali tidak pernah tahu menahu tarian Jawa ya?!?
“A culture is made or destroyed by its articulate voices.” ~ Ayn Rand
Nah, dari hal-hal sederhana tsb dapat menjadi tolak ukur mengapa negara lain dengan mudahnya hendak mengklaim kebudayaan-kebudayaan yang kita punya, lah wong rakyat Indonesia sendiri acuh tak acuh dengan budayanya. Maka dari itu sudah saatnya kita melestarikan kebudayaan Indonesia dimulai dari diri kita sendiri, jangan sampai filosofi yang sudah dimilikinya hilang begitu saja karena ketidakpedulian kita.