“We didn’t realize we were making memories, we just knew we were having fun.”
12 tahun masa kecil saya dihabiskan di pulau kecil di utara Kalimantan, Tarakan. Begitu banyak kenangan indah terpatri di sana, salah satunya kenangan saat bulan Ramadan tiba.
Bulan yang sangat dirindukan umat muslim di seluruh dunia, tak terkecuali anak berumur 10 tahun ini (red: saya).
Leduman Bambu
“Duuum, dum… dum!” bunyi leduman bambu saling bersautan. Terdengar dari satu kampung ke kampung lainnya, meski jarak antar kampung beberapa kilometer, leduman atau meriam bambu ini terdengar cukup keras.
Leduman bambu terbuat dari silinder bambu berukuran besar, bisa menghasilkan suara bak meriam karena ia menggunakan bahan bakar karbit.
Lalu disulut dengan api memakai kayu yang ujungnya dililit kain, sebelumnya kain dicelupkan ke minyak tanah dulu.
Haha cukup tricky dan berbahaya ya, tapi entah kenapa anak 90-an pada masanya begitu mahir memainkan leduman bambu ini.
“Eh situ cewek mainannya leduman?” haha iya nih harap maklum ya, karena dua saudara saya laki-laki semua. Alhasil teman sepermainan saya pun didominasi kaum adam wkwk.
Apalagi lokasi bermain leduman bambu ini tak jauh dari rumah, lah wong tetangga sebelah yang menyulutnya.
Ssst, apakah kalian dulu pernah memainkannya juga? Rindu tak?
Pasar Ramadan
Kota Tarakan dulu relatif sepi, pasar Ramadan belum banyak digelar seperti sekarang. Jadi biasanya pasar Ramadan hanya digelar di pasar-pasar tradisional besar saja.
Buka sejak pukul 3 sore atau lepas Ashar, saya bersama teman berjalan kaki menuju pasar Markoni berdua saja. Yang dicari bukan takjil, tapi kami lebih tertarik dengan jajanan arum manis atau kembang gula kapas berwarna pink.
Haha harap maklum namanya juga kota kecil, jajanan sejuta umat anak-anak ini dulunya hanya ada di saat pasar Ramadan saja. Jadi saban bulan puasa tiba, arum manis ini selalu saya nantikan.
Salat Tarawih Di Masjid
Salat tarawih, membawa buku yang telah dilengkapi dengan kolom nama imam, khotib, juga tanda tangan imam dan jugq khotib.
Ya kali dulu anak seumur saya salatnya khusyuk haha, duh ampuni saya ya Allah. Salat di shaf paling belakang, sehinggq sering banget diomelin ibu-ibu saking berisiknya.
“Ah, yang penting buku tarawih bisa dipenuhi” pikir saya enteng kala itu (ssst, jangan ditiru yak) :p
Selepas salat tarawih, anak-anak bergegas mengerumuni imam dan khatib untuk meminta tanda tangan… sebagai tanda bahwa saya telah mengikuti salat tarawih.
Lumayan kalau penuh bisa menambah nilai mata pelajaran Agama, ciyeee rajin niyeee salatnya :p
Kebayang ya betapa bahagianya saya melewati bulan Ramadan, meski jujur puasa masih bolong-bolong setidaknya bulan Ramadan mengajarkan saya untuk bersyukur atas nikmatNya.
Nikmat bisa melewati bulan Ramadan dengan bahagia di masa kecil, karena di zaman now… sudah pasti jarang dijumpai suara leduman bambu.
Kalau pun ada, biasanya baru bisa dijumpai di kota kecil atau bahkan di desa-desa saja.
Karena itu saya sangat merindukan suasana Ramadan di kota kecil seperti Tarakan.
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam BPN 30 Days Ramadan Blog Challenge 2021, dengan tema hari #19 “Yang Dirindukan Saat Ramadan.”